MAKALAH
“ MAJLIS TARJIH”
Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam
Program
Studi Hukum Ekonomi Syariah
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU)
Nusantara
Tangerang
DosenPengampu :
Bapak
Suhendra
Disusun
Oleh :
Ahmad Gufron
Muhammad Isya Iskandar
Muhammad Ikbal Iskandar
Muhammad Firdaus
Siti Ayami
Uswahtun Hasanah
Usnawati
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
STISNU NUSANTARA TANGERANG
2018
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah hanya
kami panjatkaan kehadirat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Atas
segala berkah, nikmat kesehatan dan kesabaran yang diberikannya, hingga pada
akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Majlis Tarjih
Muhammadiyah.
Shalawat dan salam
tercurahkan kepada baginda Rasulullah Saw, teladan mulia, inspirator cerdas,
motivator tangguh dalam segala aspek kehidupan. Darinya, pelajaran dan
penyelesaian problematika kehidupan, agama maupun sosial, dapat kita
inplementasikan guna mempertahankan martabat kemanusiaan.
Makalah yang
berjudulkan Majlis Tarjih Muhammadiyah ini adalah makalah yang membahas tentang
salah satu lembaga-lembaga pemberi fatwa di Indonesia. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kami khususnya dan umumnya bagi para pembaca.
Bila terdapat dalam
makalah ini keslahan penulisan, kami selaku penulis memohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Januari 2018
Penyusun
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Majlis Tarjih
Tarjih berasal dari
kata “rojjaha-yurajjihu-tarjihan”, yang berarti mengambil sesuatu yang
lebih kuat. Menurut
istilah ahli ushul fiqh adalah usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk
mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling bertentangan,
karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya
Tarjih dalam istilah persyarikatan,
sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai “Matan Keyakinan dan Cita-cita
hidup Muhamadiyah” adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan
kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.
Pada tahap-tahap
awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar
memilih-milih antara beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam,
yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan
masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks,
dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam
Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup
signifikan. Kemudian mengalami perluasan menjadi: usaha-usaha mencari ketentuan
hukum bagi masalah-masalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada
diriwayatkan qoul ulama mengenainya. Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama
ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama ijtihad.
Oleh karenanya,
idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas
adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan
tetap menjaga nama asli, ketika Majlis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu
tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
B. Tentang Istinbat Hukum Majlis Tarjih
Karena
Masalah Lima tersebut, masih bersifat umum, maka Majlis Tarjih terus berusaha
merumuskan Manhaj untuk dijadikan pegangan di dalam menentukan hukum. Dan pada
tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986, setelah Muktamar Muhammadiyah
ke- 41 di Solo, Majlis Tarjih baru berhasil merumuskan 16 point pokok-pokok
Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
Dalam memutuskan suatu
masalah, maka lajnah Tarjih menggunakan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah maqbullah
(yang dapat diterima otensitasnya), namun tidak menutup jalan ijtihad, untuk
lebih jelasnya berikut Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih (disertai keterangan
singkat) adalah sbb :
·
Di dalam beristidlal, dasar utamanya
adalah al Qur’an dan al Sunnah al Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar
illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan.
Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan
dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih
menerima Ijitihad , termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang
tidak ada nashnya secara langsung. ( Majlis tarjih di dalam berijtihad
menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : Ijtihad Bayani : yaitu (
menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau
mempunyai makna ganda, atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya), kemudian
dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad Umar untuk tidak
membagi tanah yang ditaklukan seperti tanah Iraq, Iran , Syam, Mesir kepada
pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan “Khoroj” dan hasilnya dimasukkan
dalam baitul mal muslimin , dengan berdalil Qs Al Hasyr ; ayat 7-10. Kedua :
Ijtihad Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum
yang tidak dijelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist, diantaranya : men
qiyaskan zakat tebu, kelapa, lada, cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat gandum,
beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak ( 7,5 kwintal )
Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya
secara khusus dengan berdasarkan illat , demi untuk kemaslahatan masyarakat,
seperti ; membolehkan wanita keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan
menjual barang wakaf yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll.
·
Dalam memutuskan sesuatu keputusan,
dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan
sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majlis,
tidak dipandang kuat.( Seperti pendapat salah satu anggota Majlis Tarjih Pusat
yang pernah dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan
awal bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla’ Makkah. Pendapat
ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang diputuskan
dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah menggunakan
Mathla’ Wilayatul Hukmi ).
·
Tidak mengikatkan diri kepada suatu
madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur’an dan
al– Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. ( Seperti halnya ketika
Majlis Tarjih mengambil pendapat Mutorif bin Al Syahr di dalam menggunakan
Hisab ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan.
Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan: Rumusan di
atas, menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk tidak terikat
dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala permasalahannya pada
Al-Qur’an dan Hadits saja. Namun pada perkembangannya, Muhammadiyah sebagai
organisasi keagamaan yang mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak
langsung telah membentuk madzhab sendiri, yang disebut “Madzhab Muhammadiyah“,
ini dikuatkan dengan adanya buku panduan seperti HPT (Himpunan keputusan
Tarjih).
·
Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak
beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas
dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat, yang didapat ketika
keputusan diambil, dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat
diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih
dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. (Seperti halnya
pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena kekawatiran
tejadinya syirik sudah tidak ada lagi, pencabutan larangan perempuan untuk
keluar rumah dll).
·
Di dalam masalah aqidah ( Tauhid ),
hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir. (Keputusan yang membicarakan tentang
aqidah dan iman ini dilaksanakan pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo
pada tahun 1929. Namun rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai
dampak yang sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya
kepada warga Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti
bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih yang
tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad tidak bisa
dipakai dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari keyakinan kaum
muslimin yang selama ini dipegang erat akan tergusur dengan rumusan di atas,
sebut saja sebagai contoh : keyakinan adanya adzab kubur dan adanya malaikat
munkar dan nakir, syafa’at nabi Muhammad saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat
yang dijamin masuk syurga, adanya timbangan amal, ( siroth ) jembatan yang
membentang di atas neraka untuk masuk syurga, ( haudh ) kolam nabi Muhammad
saw, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti turunnya Isa, keluarnya Dajjal.
Rumusaan di atas juga akan menjerat Persyarikatan ini ke dalam kelompok Munkiru
al-Sunnah , walau secara tidak langsung.
·
Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai
dasar suatu keputusan. ( Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua ,
pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat standarisasi
penulisan Al Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti. Ijma’ seperti
ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua : pertama : ijma’
sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah sahabat).
·
Terhadap dalil-dalil yang nampak
mengandung ta’arudl, digunakan cara “al jam’u wa al taufiq “. Dan kalau tidak
dapat , baru dilakukan tarjih. ( Cara-cara melakukan jama’ dan taufiq,
diantaranya adalah : Pertama : Dengan menentukan macam persoalannya dan
menjadikan yang satu termasuk bagian dari yang lain. Seperti menjama’ antara
QS. Al Baqarah : 234 dengan QS. Al Thalaq : 4 dalam menentukan batasan iddah
orang hamil, Kedua : Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap
dalil yang umum, seperti : menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali
Imran 89, dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga
menjama’ antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah
ba’da Ashar, Ketiga: Dengan cara meng-taqyid sesuatu yang masih mutlaq, yaitu
membatasi pengertian yang luas, seperti menjama’; antara larangan menjadikan
pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang mengambil upah dari
pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti masing-masing dari dua dalil yang
bertentangan, seperti : menjama’ antara pengertian suci dari haid yang berarti
bersih dari darah haid dan yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima :
Menetapkan masing-masing pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan
sholat di rumah bagi yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah
di rumah.
·
Menggunakan asas “ saddu al-dara’I “
untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. ( Saddu al dzara’I adalah
perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada
hal-hal yang dilarang. Seperti : Larangan memasang gambar KH. Ahmad Dahlan,
sebagai pendiri Muhammadiyah, karena dikhawatirkan akan membawa kepada
kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan ini dicabut kembali pada Muktamar
Tarjih di Sidoarjo, karena kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh
lain adalah larangan menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia,
karena akan menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada
Muktamar Tarjih di Malang 1989.
·
Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk
memahami kandungan dalil-dalil Al Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan
tujuan syare’ah. Adapun qaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan
wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “ ( Ta’lil Nash adalah
memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan pada illah yang
terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah Masjid Al Haram dalam
sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga perintah untuk meletakkan hijab
antara laki-laki dan perempuan, yang dimaksud adalah menjaga pandangan antara
laki-laki dan perempuan, yang pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968
diputuskan bahwa pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir
atau tidak, selama aman dari fitnah )
·
Pengunaaan dalil-dalil untuk menetapkan
suatu hukum, dilakukan dengan cara konprehensif, utuh dan bulat. Tidak
terpisah. ( Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang
bernyawa, jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan menyebabkan
kesyirikan )
·
Dalil-dalil umum Al Qur’an dapat
ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. ( Lihat keterangan
dalam point ke 5 )
·
Dalam mengamalkan agama Islam,
mengunakan prinsip “ Taysir “ ( Diantara contohnya adalah : dzikir singkat setelah
sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat )
·
Dalam bidang Ibadah yang diperoleh
ketentuan-ketentuannya dari Al Qur’an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan
menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya.
Meskipun harus diakui, akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash
dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi. (
Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan dan
Syawal, selain menggunakan metode Rukyat, juga menggunakan metode al Hisab.
Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan ini perlu dikaji kembali
karena banyak menimbulkan problematika pada umat Islam di Indonesia )
·
Dalam hal-hal yang termasuk “al umur al
dunyawiyah” yang tidak termasuk tugas para nabi , penggunaan akal sangat
diperlukan, demi kemaslahatan umat.
·
Untuk memahami nash yang musytarak,
paham sahabat dapat diterima.
·
Dalam memahani nash , makna dlahir
didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini,
tidak harus diterima. ( Seperti dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang
membicarakan sifat-sifat dan perbuatan Allah SWT, seperti Allah bersemayam di
atas Arsy, Allah turun ke langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir
malam dll ) dikaji kembali karena banyak menimbulkan problematika.
C.
Struktur organisasi Majlis Tarjih
ORGANISASI MUHAMMADIYAH
- Pimpinan Pusat
- Pimpinaan Wilayah
- Pimpinaan Daerah
- Pimpinan Cabang
- Pimpinan Ranting
- Jama'ah Muhammadiyah
- Pembantu
Pimpinan Persyarikatan
- Majelis Tarjih dan Tajdid
- Majelis Tabligh
- Majelis Pendidikan Tinggi
- Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
- Majelis Pendidikan Kader
- Majelis Pelayanan Sosial
- Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan
- Majelis Pemberdayaan Masyarakat
- Majelis Pembina Kesehatan Umum
- Majelis Pustaka dan Informasi
- Majelis Lingkungan Hidup
- Majelis Hukum Dan Hak Asasi Manusia
- Majelis Wakaf dan Kehartabendaan
- Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
- Lembaga Pembina dan Pengawasan Keuangan
- Lembaga Penelitian dan Pengembangan
- Lembaga Penanganan Bencana
- Lembaga Zakat Infaq dan Shodaqqoh
- Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
- Lembaga Seni Budaya dan Olahraga
- Lembaga Hubungan dan Kerjasama International
- Organisasi
Otonom
- Aisyiyah
- Pemuda Muhammadiyah
- Nasyiyatul Aisyiyah
- Ikatan Pelajar Muhammadiyah
- Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
- Hizbul Wathan
- Tapak Suci
D.
Proses Pengambilan Hukum di Majlis Tarjih
E. Ulama
yang berada di Majlis Tarjih
Majelis Tarjih dan Tajdid di Kota Tangerang
Ketua : Dr.
Jaja Nurjanah, MA
Sekretaris : H.
Ahsin Abdul Wahab, MA
Anggota : Dr.
Izza Rohman Nahrowi, MA
Anggota : Drs.
Sunarto
Anggota : Arif
Hamzah, MA
Anggota : Endang
Mintarja, MA
Anggota : Edi
Amin, MA
Sejak
berdirinya pada tahun 1927 M, Majlis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh
Muhammadiyah, yaitu :
1.
KH. Mas Mansur
2. Ki
Bagus Hadikusuma
3.
KH. Ahmad Badawi
4.
Krt. KH. Wardan Diponingrat
5.
KH. Azhar Basyir
6.
Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 )
7.
Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
8.
Dr. H. Syamsul Anwar , MA ( 2000-2005 )
E. Sumber
apa saja yang di perlukan atau di gunakan untuk majlis tarjih
Manhaj (metodologi) tarjih juga mengandung pengertin
sumber-sumber pengambilan norma agama. Sumber agama adalah al-Quran dan
as-Sunnah yang ditegaskan dalam sejumlah dokumen resmi Muhammadiyah,
1. Pasal 4 ayat (1) Anggran Dasar Muhammadiyah yang
telah dikutip di atas yang menyatakan bahwa gerakan Muhammadiyah bersumber kepada
dua sumber tersebut.
2. Putusan Tarjih Jakarta 2000 Bab II
angka 1 menegaskan, “Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan as-Sunnah
al-Maqbūlah (السنة المقبولة).” Putusan Tarijih ini merupakan penegasan kembali
apa yang sudah ditegaskan dalam putusan-putusan tedahulu (HPT, h. 278),
الأَصْلُ فِي التَّشْرِيْعِ
اْلإِسْلاَمِيِّ عَلَى اْلإِطْلاَقِ هُوَ اْلقُرْآنُ اْلكَرِيْمُ وَالْحَدِيْثُ
الشَّرِيْفُ .
Artinya:
Dasar mutlak dalam penetapan hukum Islam adalah al-Qur’an dan
al-Hadits asy-Syarif.
Mengenai hadis (sunnah) yang dapat menjadi hujah
adalah sunnah makbulah seperti ditegaskan dalam Putusan Tarjih Jakarta tahun
2000. Istilah sunnah makbulah merupakan perbaikan terhadap rumusan lama dalam
HPT tentang definisi agama Islam yang menggunakan ungkapan “sunnah sahihah”.
Istilah sunnah sahihah sering menimbulkan salah faham dengan mengindektikkannya
dengan hadis sahih. Akibatnya hadis hasan tidak diterima, pada hal sudah
menjadi ijmak seluruh umat Islam bahwa hadis hasan juga menjadi hujah agama.
Oleh karena itu untuk menghindarkan salah faham tersebut rumusan itu diperbaiki
sesuai dengan maksud sebenarnya rumusan bersangkutan, yaitu bahwa yang dimaksud
dengan sunnah sahihah adalah sunnah yang bisa menjadi hujah, yaitu hadis sahih
dan hadis hasan. Karenanya dalam rumusan baru dikatakan “sunnah makbulah”, yang
berarti sunnah yang dapat diterima sebagai hujah agama, baik berupa hadis sahih
dan maupun hadis hasan.
Hadis daif tidak dapat dijadikan hujah syar’iah.
Namun ada suatu perkecualian di mana hadis daif bisa juga menjadi hujah, yaitu
apabila hadis tersebut:
1) banyak jalur periwayatannya sehingga satu
sama lain saling menguatkan,
2) ada indikasi berasal dari nabi saw,
3) tidak bertentangan dengan al-Quran,
4) tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah dinyatakan
sahih,
5) kedaifannya bukan karena rawi hadis
bersangkutan tertuduh dusta dan pemalsu hadis.
Dalam Putusan Tarjih (HPT, h. 301) ditegaskan,
الأَحاَدِيْثُ الضَّعِيْفَةُ
يَعْضَدُ بَعْضُهاَ بَعْضًا لاَ يُحْتَجُّ بِهاَ إِلاَّ مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهاَ
وَفِيْهاَ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى ثُبُوْتِ أَصْلِهاَ وَلَمْ تُعاَرِضِ
اْلقُرْآنَ وَالْحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ .
Hadis-hadis daif yang satu sama lain saling
menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan
padanya terdapat karinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis sahih.
1.
Hadist alquran tentang majlis tarjih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar